Legalitas Norma Pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020

Oleh

Muhamad Ridwan, S.H.

Hakim Pengadilan Negeri Bontang Kelas II

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintah pada tanggal 2 November 2020 masih menimbulkan kontroversi terkait hukum ketatanegaraan maupun dimensi hukum lain yang terkait, 1 (satu) tahun setelah disahkan Mahkamah Konstitusi mendapat banyak permohonan pengujian materiil maupun formil dari undang-undang tersebut.

“omnimbus law (satu untuk semua) dikenal di negera dengan sistem hukum common law seperti Amerika dan Kanada”

Pada dasarnya konsep Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merupakan jenis omnimbus law (satu untuk semua) dikenal di negera dengan sistem hukum common law seperti Amerika dan Kanada, di Indonesia sendiri baru mengenal metode/ prosedur omnibus saat undang-undang tersebut disahkan, yang mana di Indonesia selama ini lebih banyak mengatur undang-undang tersendiri dan serumpun.

Sejauh ini ada 12 (dua belas) putusan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mana dari 12 (dua belas) putusan tersebut 11 (sebelas) diantaranya dinyatakan tidak dapat diterima dan 1 (satu) putusan dengan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dikabulkan sebagian dengan amar Conditionally Unconstitutional (tidak konstitusional bersyarat). Dimana dalam putusan tersebut ada 9 (sembilan) butir amar dalam pokok perkara yang berbunyi.

  1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
  2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan  Pemohon VI untuk sebagian;
  3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
  4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
  5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan  Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
  6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
  7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
  9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ada 79 Undang-undang yang diubah, dimana dari 79 (tujuh puluh sembilan) undang-undang tersebut terdapat 40 (empat puluh) undang-undang yang mengandung norma pidana, dengan jumlah 293 (dua ratus sembilan puluh tiga) pasal.

Pertanyaan yang kemudian muncul dalam ranah hukum pidana adalah bagaimana legalitas pasal-pasal pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut apakah Pasal tersebut merupakan bagian yang tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tengat waktu yang ditentukan butir amar ke 3 (tiga) dan amar ke 4 (empat) putusan a quo ataukah ditangguhkan karena merupakan tindakan yang bersifat strategis dan berdampak luas sesuai dengan butir amar ke 7 (tujuh) putusan a quo. Pertanyaan selanjutnya siapakah yang berwenang/bertugas untuk menafsirkan sifat strategis dan berdampak luas tersebut, apakah dikembalikan pada masing masing praktisi hukum ataukah harus dibuat dalam suatu surat edaran instansi yang bersangkutan.

"nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali

Apabila dilihat dalam penciptaan asas legalitas pada tahun 1801 oleh Paul Joahan Von Feuerbach yang mengandung arti mendalam yang dikembangkan menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali,  kemudian terdapat 4 (empat) prinsip asas legalitas yaitu lex scripta (tertulis), lex certa (jelas), lex stricta (tegas) dan lex previa (tidak berlaku surut) berdasarkan asas tersebut tampak bahwa norma dalam pasal pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah memenuhi lex scripta (tertulis), lex stricta (tegas) dan lex previa (tidak berlaku surut) namun apabila dilihat dari lex certa (kejelasan) apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu berlaku jelas menjadi perdebatan.

Kemudian Penulis selanjutnya akan mengajak untuk mengingat legalistas pasal-pasal pidana tersebut dalam bingkai asas lex favor reo yang tertuang dalam pasal 1 ayat (2) KUHP dimana dapat dimaknai:

"Jika ada perubahan aturan sedangkan seseorang itu berperkara dalam masa perubahan susatu undang-undang tersebut maka aturan yang diterapkan adalah aturan yang meringankan. Jika seandainya aturan yang meringankan tersebut adalah aturan lama, maka aturan tersebut yang diterapkan, tapi jika aturan baru yang meringankan maka aturan baru tersebut dipakai

Berdasarkan asas tersebut membuka kemungkinan praktisi hukum memilih norma pidana mana yang lebih ringan bagi tersangka atau terdakwa, apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau undang-undang organik sebelum dirubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sampai ditahap ini tampak adanya problema hukum terkait ketidaksempurnaan undang-undang yang mana Jeremy Bentham membagi ketidaksempurnaan tersebut dalam dua derajat/tingkatan. Ketidaksempurnaan derajat pertama disebabkan hal-hal yang meliputi: (1) Arti ganda (ambiguity); (2) Kekaburan (obscurity); (3) Terlalu luas (overbulkiness). Sedangkan ketidaksempurnaan derajat kedua, disebabkan hal-hal yang meliputi: (1) Ketidak tepatan ungkapan (unsteadiness in respect of ezpression); (2) Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in respect of import); (3) Berlebihan (redundancy); (4) Terlalu panjang lebar (longwindedness); (5) Membingungkan (entanglement); (6) Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness in respect of helps to intellection); (7) Ketidakteraturan (disorderliness). Terlepas dari kualifikasi tersebut setidaknya muncul kekaburan (obscurity) pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

“Penutup”

Sebetulnya kondisi seperti ini dapat diatasi dengan konsep-konsep Judicial Activism dengan metode penemuan atau penafsiran hukum, karena memenuhi persyaratan dimana ada aturan yang belum jelas pemberlakuannya maka perlu ditemukan hukumnya, namun hemat Penulis alangkah baiknya untuk menjembatani penafsiran hukum yang akan terjadi terutama di kalangan praktisi hukum lebih khusus kalangan Hakim agar tidak terlalu lebar disparitas penerpan hukumnya, ada baiknya Pemerintah menerbitkan Perpu atau Institusi terkait mengeluarkan surat edaran ataupun surat edaran bersama antar institusi mengenai petunjuk teknis terkait penanganan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.