Oleh
Muhamad Ridwan, S.H.
Hakim Pengadilan Negeri Bontang Kelas II
arti ungkapan itu adalah “Hukum itu tertinggal dari peristiwanya”, hal ini dikarenakan untuk merubah hukum harus melalui prosedur dan tidak dapat dilakukan setiap waktu. Dalam hukum pidana penciptaan asas legalitas pada tahun 1801 oleh Paul Joahan Von Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam yang dikembangkan menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali.
Adapun secara implisit dalam Al Qur’an terdapat nilai asas legalitas pada surat Al Israa’ ayat 15 “Siapa yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu adalah untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah, dirinya sendirilah yang akan menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang Rasul” kemudian dalam perjanjian baru Roma Pasal 5 ayat (13) berbunyi : “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperitungkan kalau tidak ada hukum Taurat”.
Dalam konteks hukum nasional asas legalitas di beberapa negara dimasukan dalam konstitusi termasuk di Indonesia dimasukan pada amandemen kedua UUD 1945. Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2). Lebih jauh berdasarkan beberapa konstitusi negara di dunia terdapat batasan berlakunya asas legalitas dalam hal terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan atau disebut juga asas Lex temporis delicti. Asas ini menjadi penting pada saat suatu negara memperbarui peraturan pidananya maka perubahan tersebut dapat dianggap sebagai novum dan dasar untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berbeda dengan hukum pidana nasional ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana internasional tidak dapat disamakan, karena hukum pidana internasional juga didasarkan pada hukum kebiasan internasional bertentangan dengan lex scripta (tertulis) dan lex certa (jelas). Namun pada tanggal 17 Juli 1998, Statuta Roma menghasilkan International Criminal Court (ICC), dimana asas legalitas diberlakukan secara ketat sepanjang kejahatan serius yang dilakukan diadili menggunakan Statuta Roma, apabila diterjemahkan secara argumentum a contrario, maka pada kejahatan serius yang tidak diadili dengan menggunakan Statuta Roma, asas legalitas tidak diperlakukan secara ketat.
yang diterjemahkan menjadi hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan. Menurut Sudikno Mertokusumo penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainya. Membuat hukum adalah satu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat merupakan keharusan berikutnya. Secara garis besar ada 4 (empat) metode penafsiran yang umum dan sering digunakan pertama interpretasi gramatik, kedua interpretasi sistematis atau logis, ketiga interprestasi historis, keempat interpretasi teologis atau sosiologis, dari keempat metode itu dikualifikasikan menjadi 2 (dua) interpretasi restriktif dan interpretasi ekstensif. Dalam konteks hukum pidana, pertanyaan selanjutnya adalah boleh atau tidaknya analogi diterapkan (prinsip sifatnya sama dengan intrepretasi ekstensif), mengingat pada sistem hukum yang menerapkan asas legalitas yang sangat ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang. Terlepas dari perbedaan pendapat dari ahli hukum tersebut terdapat yurisprudensi dimana hakim melakukan penemuan hukum dengan menggunakan berbagai metode interpretasi, sebagai contoh putusan Hoge Raad 30 Januari 1996, NJ 1996, 263 berkenaan dengan pengertian mayat dalam pasal 151 Wetboek van Strafrecht (WvS) dan Putusan Mahkamah Agung RI, 8 Januari 1996, No.42K/Kr/1965 berkenaan penggelapan dalam Pasal 372 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.[1]
[1] Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Eddy O.S. Hiariej, 2009;